Wahyu Pakerty Utami
3 min readOct 5, 2021

A self-reminder, for those who said that they love their parents.

Dimulai dari pertanyaan “Kalau kamu bisa mengulang hidup sekali lagi, apa yang ingin kamu lakukan? Mengubahnya atau tetap menjalani hidup yang sama?

Pertanyaan ini sering sekali menggelitik kalbu, hahaha. Tentu saja aku ‘no’ untuk mengubah.

Banyak hardship in life that we’ve been through, but it makes us, us. It makes you, you.

Untuk tetap menjalani hidup yang sama.. iya. Tapi, lebih mendalami dan menikmati moment-nya, selalu memberi makna, etc.

Tumbuh dewasa tanpa orang tua, adalah kalimat yang menggambarkan kondisi saya. Tapi, perasaan cinta, kasih, dan value yang ditanamkan rasanya begitu kaya, rasanya begitu tumpah ruah.

Pesan yang didapatkan dari contoh teladan baik terasa sangat dalam, menjadikan aku punya purpose dalam hidup yang lebih kuat.

Aku menuju kesana, hanya perlu tahu arah pastinya.

Walau tanpa orang tua, tapi rasanya mengingat amal shalih orang tua, sungguh sangat hangat. Melihat orang tua tersenyum pada saat sudah meninggal, adalah perasaan tiada tara, perasaan yang ingin juga sama spesialnya dimata Allah seperti mamah. Seperti papah, yang sangat sociable, gak pernah menunda pertolongan untuk orang lain, jadi orang yang helpful, punya teman dimana-mana, dikenal sebagai tokoh masyarakat yang bijak.

Kekayaan rasa inilah yang aku miliki dan menjadikan hati ini rasanya hangat sekali.

Kadang kita lupa, banyak sekali ilmu parenting cara mendidik anak, tapi melupakan untuk mendidik cara berbakti kepada orang tua.

Jika saya bisa mengulang waktu, tetap sama tidak apa, tapi saya ingin lebih mampu berbakti, lebih sering berkata ‘iya’ daripada ‘tidak’ ataupun mengeluh dengan diawali kata ‘ah’

Sungguh hangat hati mengingat bagaimana merawat orang tua yang sakit, namun mungkin terkadang cukup menyelekit ketika harus mendengar

“Kalau mamah udah gak ada….”

“Kalau bapak sudah meninggal…”

Sungguh ingin aku menekan tombol pause dan stop, aku tidak mau dengar itu, aku inginnya kalian masih ada terus.

Tapi sayangnya, tombol itu tidak ada dan tidak akan pernah ada.

Justru, kalimat itulah yang seharusnya ku perhatikan, aku tanamkan, tentang Ia ingin aku tumbuh menjadi anak yang seperti apa, Ia ingin aku tumbuh menjadi apa, itu yang seharusnya ku perhatikan. Petuah-petuah yang terdengar seakan itu kritik, seakan pembicaraan yang terus diulangi sampai bosan, nasihat yang dirasa “ah udah tau”. Tapi, itu yang akan sangat kita rindukan dan yang akan sangat kita butuhkan.

Bukan hanya seberapa banyak harta warisan, seberapa tinggi pendidikan, tapi seberapa tak terhingganya kebermanfaatan yang bisa kita berikan kepada orang lain atas berkat pembelajaran dari Ayah Ibu, value dan purpose yang dibangun karena teladan mereka. Itulah yang akan selalu sampai kepada mereka dimanapun mereka berada. Kebermanfaatan yang dilangitkan, doa yang dilangitkan, doa yang tidak pernah berhenti dan tidak pernah putus sedikit pun.

Aku pun yakin, salah satu hal yang membuat kita selalu terlindungi adalah doa orang tua yang gak pernah putus. Doa orang tua yang bahkan, anak adalah tujuan hidupnya.

Membahagiakan anaknya, mendidik anaknya sampai tinggi, mendidik supaya manjadi anak teladan, shalih, dan shalihah. Tapi apakah kita sudah berusaha menjadi anak yang baik untuk orang tua kita? Untuk menjadi sesuai dengan harapan mereka?

Tombol pause, stop, dan rewind dalam hidup gak akan pernah ada, akan selalu terus berjalan, kita menua, peran semakin banyak. Begitu pula orang tua kita yang juga ikut menua, tapi perannya tetap sama, tetap orang tua kita.

Cintailah mereka, sayangilah mereka.

Sebagainana mereka menyayangi dan mengasihi kita dari sejak kecil.