My Happiness

Wahyu Pakerty Utami
3 min readMay 17, 2021

--

29/12/20

Bagaimana cara terus berenang di lautan yang ombaknya riuh? Apakah rasa takut tenggelam, mengalahkan rasa cinta saya pada indahnya laut? Saya beruntung bahwa rasa cinta itu lebih besar. Saat itulah saya mengerti bahwa saya bisa tetap bahagia.

Saya mengerti betul tentang adanya penderitaan dalam hidup yang bisa saja semua manusia di bumi ini rasakan, saya paham betul bahwa adanya rasa ingin mengutuk hal buruk yang terjadi dalam hidup walau sudah tahu dan sudah mengerti bahwa datangnya dari Tuhan. Saya mengerti bahkan ada manusia yang enggan untuk percaya pada kekuatan alam semesta karena adanya penderitaan yang dahsyat sehingga berpikir bahwa Tuhan itu kejam. Saya hanya bisa terdiam… saya juga pernah merasakannya.

Sejak kecil, saya terbiasa menciptakan makna baru, bingkai-bingkai baru ketika hal buruk terjadi, bingkai baru yang saya ciptakan bukan hanya semerta-merta melindungi saya dari rasa sakit yang tiada tara. Bingkai ini, saya ciptakan untuk melihat lebih dekat dan lebih jauh pada apa yang Tuhan telah rencanakan dan apa yang telah Tuhan berikan. Tuhan berikan kesempatan, Tuhan berikan keluarga yang hangat, Tuhan berikan perasaan pada diri ini untuk merasa sengsara, sedih, marah, dan juga senang. Pertolongan Tuhan dan rencana Tuhan yang saya percaya akan baik nan indah yang menolong saya untuk bisa bertahan sampai sejauh ini. Tuhan yang selalu membantu hamba-Nya, Tuhan yang tidak akan memberikan beban lebih dari apa yang dapat dipikul oleh hamba-Nya. Bingkai pada hal buruk ini saya beri nama cerita kehidupan.

Seiring tahun berjalan, mulai dari saya berusia 7 tahun 8 bulan, saya terus belajar untuk terhubung dengan kehidupan, baik susah maupun mudah. Saya belajar, tiap-tiap yang pergi akan ada yang mengganti. Tiap-tiap sakit, akan Tuhan berikan kebahagiaan surga tanpa perlu dirakit. Sungguh betapa pedih bingkai ini, tapi menyelamatkan saya dari rasa tidak terima. Saya terus belajar dan terus menerus belajar tentang kata syukur, hingga saat ini.

Keluarga saya selalu mengajarkan pada saya, bahwa bahagia, rasa suka cita tidak hanya diukur dari materi yang kita miliki. Jelas, ada kebahagiaan saat memiliki uang yang banyak. Tapi ada saja hal yang uang tidak bisa beli, contohnya, kehangatan keluarga. Rasa kasih ini yang uang tidak akan pernah bisa beli. Rasa syukur ini yang uang tidak akan pernah bisa beli. Ayah saya seorang yang tidak pernah khawatir tentang rezeki, Ayah saya selalu berkata “tenang aja, uang itu selalu bisa dicari, nduk. Nge-loakin koran bekas aja bisa dapet uang kan?”, semasa saya kecil, Ayah saya suka sekali membaca koran harian, dan setelahnya diloakkan, hingga bisa bersahabat dengan Tukang Barang Bekas. Ah ya bukan itu inti ceritanya, hahaha. Intinya, kehangatan itu tetap selalu terjaga dan dirawat oleh anaknya atau bahkan keluarga besar hingga saat ini pada masa tanpa meloakkan koran bekas.

Saya tidak selalu merasa bahagia sepenuhnya, mungkin saya pernah menutupi sedih dengan bersikap seperti orang bahagia. Tapi itu sungguh tidak membantu. Senang ya senang aja, sedih ya sedih aja. Saya masih terus mendalami tentang rasa syukur, terlebih saat saya telah mengalami dan merasakan lelahnya mengeluh. Bahagia ngga, makin sebel iya.

Tahun 2020 saya bahkan membuat alat bantu untuk tetap bersyukur, menuliskan setiap hari hal yang saya syukuri, hingga sampai di penghujung tahun ini sudah terkumpul 863 hal yang bisa saya syukuri. Saya tidak selalu pandai dan punya alasan bersyukur, kadang saya merasa sial. Tapi, mencari hal untuk disyukuri sekecil bisa bernafas, masih bisa bangun dari tidur, bisa makan. Sungguh, itu membantu saya untuk kembali merasa optimis dalam kehidupan ini.

Bahagia, saya ingin bahagia. Saya bahkan menuliskan pengingat di handphone saya dengan tulisan “be happy :)”. Saya menyadari betul bahwa bahagia setiap manusia punya banyak versi, punya banyak jika. Saya menyadari betul bahwa sebagian manusia kesulitan untuk bahagia, atau bahkan definisinya saja sulit untuk diejawantahkan. Beberapa kali saya bersyukur atas rasa sedih yang saya alami semata untuk merasa lebih baik, sulit bagi saya membayangkan hidup tanpa sedih, karena saya belajar bahagia dari adanya kesedihan. Saya belajar mencintai indahnya laut untuk berani berenang dan menyelam. Saya belajar berlayar dari adanya gelombang dan angin yang riuh. Saya belajar bahagia dari memeluk kesedihan.

Sekali lagi, bahagia ada banyak versi, dan bahagia milik saya adalah:

Ketika saya masih mampu berterima kasih kepada Tuhan Semesta Alam atas karunia-Nya, ketika saya masih mampu berbahagia bersama dengan manusia lainnya. Ketika saya, masih bisa bicara bahwa.. saya bahagia.

--

--